Rabu, 20 Mei 2009. Gedung Istora Senayan. Suasana terdengar riuh namun terlihat khidmat. Wajah wajah haru namun diselimuti kebahagiaan terlihat jelas di depan mata. Ayah, ibu, paman, bibi, adik, kakak, semua sanak saudara terlihat mengiringi langkah kaki para wisudawan dan wisudawati. Iya. Hari ini aku diwisuda. Tak ada kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku saat itu selain BAHAGIA. Walau air mata telah menggenang dipelupuk mata.
Dibelakangku terdengar langkah mama dan adikku. Aku tergesa. Bukan karena aku sudah tak sabar ingin segera menyelesaikan ini semua. Namun aku terlambat mengikuti proses pelepasanku menuju dunia yang sebenarnya. Aku memang tidak mengikuti proses pelepasan ini dari awal. Proses pelepasan setelah selama 4 tahun aku menimba ilmu di universitas itu.
Aku masuk melalui pintu yang disediakan untuk para wisudawan. Barisan paling belakang. disanalah aku berada. Keterlambatan ini membuatku yang seharusnya duduk di barisan paling depan harus berada dibelakang. Aku kecewa. Tapi tak mengapa. Justru dari belakang aku bisa melihat semuanya.
Melihat aku ketika pertama kali datang ke universitas itu. Melihat aku yang masih polos dan lugu ketika itu. Melihat wajah bahagia teman teman disekelilingku. Melihat senyum merona para orang tua yang melihat anaknya memakai toga. Melihat betapa semua proses ini tidak semudah yang mereka bayangkan. Seperti film yang diputar kembali. Pulang malam. Tidur pagi. Bahkan mencuri waktu disela kantuk yang tak tertahankan. Ini mungkin belum seberapa. Tapi aku siap. Siap jika diluar sana ada gelombang tsunami yang lebih tinggi dari ini.
Dan aku akan segera merindukan kalian; teman, sahabat, dosen, kantin, lobby daksinapati, hunting foto bersama, syuting film bersama, rekaman distudio itu, duduk dempetan di lab audio visual, mengajar di kelas itu, presentasi dikelas itu, bersenda gurau di sungai kecil, menunggu kuliah dipojokan tangga, tawa, canda, duka, marah, benci bahkan udara di dalam kelas yang tiap pagi aku hirup. Aku yakin itu.
Awal dari kehidupanku bukanlah rencanaku dan saat berakhirnya pun bukan keputusanku. Tetapi telah semakin jelas bagiku bahwa tugasku adalah menjadikan waktu antara awal dan akhir itu sebagai sebuah perjalanan yang terindah yang bisa aku capai dengan seluruh upayaku. Dan tentunya dengan bantuan penuh kasih dari Tangan Yang Tidak Terlihat itu.
Terima kasih, Tuhan.