Kita semua berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.Itu kalimat pertama yang ia dengar kemarin sore. Sore itu langit kemerahan. Cahaya menembus sela sela pepohonan menyinari gundukan tanah merah. Wangi bunga tujuh rupa sekilas menusuk hidung. Takbir tak henti henti melayang dalam ruang memenuhi rongga kosong.
Ia mencoba mencari celah untuk melihat beliau untuk yang terakhir kali. Namun dari tadi ia hanya melihat punggung punggung tegap dan tumpukan tanah merah dipinggir lubang. Air dalam kendi yang ia pegang mulai menetes. Dinginnya menyentuh jari jemari.
Baru kali ini ia menyaksikan peristiwa itu secara langsung.
Azan berkumandang. Tak sadar ia menemukan air matanya mengumpul disana. Disudut matanya.
Satu persatu butiran merah itu mulai menggelinding ke dalam lubang. Tak berapa lama butiran merah itu sudah menjadi gundukan. Sebuah gundukan besar. Dan satu persatu anak cucu beliau memberikan penghormatan terakhir.
Beliau tidak akan kesepian. Disebelah kanannya ada anaknya. Disebelah kirinya ada cucunya. Di sekelilingnya ada orang orang yang dulu pernah mengisi hari hari beliau.
"mereka lagi reuni tuh disana!", begitu kata seseorang.
Iyah. Ia mulai berpikir apa mungkin mereka memang sedang reuni keluarga disana.
Sore itu mendadak hening. Ayat ayat indah terlantun dari tiap jiwa yang hadir saat itu.
Ia terpaku. Membisu. Menatap pada satu sudut. Gundukan tanah merah.
"Kita semua berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah". Kalimat itu terus terngiang ngiang ditelinga.
ps: sampai bertemu, mbah. Baik baik ya disana. Sampaikan salamku untuk papa dan teteh. :)