Wednesday, September 29, 2010

Magic mirrors

Family faces are magic mirrors.
Looking at people who belong to us,
we see the past, present, and future.

(Gail Lumet Buckley)

Sunday, September 26, 2010

Bright Cloud









One of my favorite spots at home is the roof top.
There I could see the rain falling on leaves.
There I could see the bright cloud in the sky.
And there also i saw YOU.

Tuesday, September 14, 2010

Nonton film, serasa dirumah sendiri

Awan mendung berarak. Rintik gerimis mengundang ga membuat saya gentar menerobos lengangnya Jakarta sore ini. Bersama bapak ojek yang bersahabat (karena ga banyak nawar dan langsung capcus bawa kabur saya :p), saya mengarungi jalanan ibukota sampe rambut jadi kaya medusa.

Niat awal pengen nonton Sang Pencerah, terus labil mau nonton Darah Garuda. Malahan kemaren-kemaren kepikiran buat nari bareng Ridho Roma ama Cathy Sharon. Eh intip-intip jadi penasaran sama The Switch, yang kata kakak saya filmnya bagus dan kebetulan dari dulu memang saya udah kepincut aktingnya mantan istri Brad Pitt itu, Jennifer Aniston. 



Nyangsanglah kita di The Premiere Plaza Senayan XXI buat nonton The Switch. Tempatnya lumayan deket dari kantor. Sekalian icip-icip nonton di studio yang katanya sudah dibuka sejak 23 Mei 2007 dan megah rupawan itu.

Proses pembelian tiketnya memang agak eksklusif. Saya harus memasuki satu ruangan khusus yang terdiri dari 2 buah studio, toilet, bar dan sang bartender yang siap melayani, serta seperangkat meja-kursi tempat memesan tiket. Konon tiket untuk The Premiere ini juga bisa dipesan sehari sebelumnya, jadi ga perlu repot-repot ngantri.

Tiket untuk jam 5 sore sudah full booked, akhirnya tiket untuk jam 7 malam ada ditangan saya. Dengan HTM setara Nomat, yaitu Rp. 50.000 saya sudah bisa duduk-duduk di lounge bar sambil ngemil kacang yang tersuguh dimeja.


Seorang pramusaji dengan ramah menawarkan makanan dan minuman yang siap diantar ke dalam studio. Untuk range harga minuman berkisar Rp. 15.000 - Rp. 40.000, sedangkan cemilan dan makanan berkisar Rp. 20.000 - 70.000. Buat saya sih, hot peppermint tea, nachos, dan french fries-nya saja sudah cukup bikin perut saya penuh.

Yang lain-lain? Saya rangkum aja yah.

Plus
+ Kursi yang katanya dari Italia itu emang empuk dan nyaman. Untuk yang punya penyakit encok, ambeyen, atau sering pegel-pegel karena kelamaan duduk ga usah takut penyakit kamu kambuh ketika film sedang berlangsung karena kursinya bisa dinaik-turunkan. Jadi nonton film bisa sambil selonjoran atau tiduran. Berasa dirumah sendiri.

+ Buat yang seneng short term sleeping atau tidur-tidur ayam, tempat ini bisa jadi salah satu referensi tempat yang nyaman untuk tidur selama 2 jam pemutaran film. Daripada ke hotel tidur 2 jam bayar 100rebu. Hahay.

+ Kalo kamu seneng dengan suasana yang ga terlalu ramai bolehlah main-main kesini. Pasalnya Cineplex yang biasanya diisi sama 200 orang jadi sepi karena kapasitasnya berkurang hanya untuk 38 orang. 

+ Ga usa takut kedinginan karena mereka juga menyediakan selimut multifungsi, seperti untuk nutupin perut buncit, rok yang keangkat, atau kaki yang kedingingan. Dan ga usah khawatir selimutnya bekas dipake orang karena selimutnya baru, masih dalem plastik, lumayan anget, halus, juga wangi sampe nempel ke baju.



Minus
- Ketika jam menonton tiba, ga di umumin lewat pengeras suara, cuma dibilangin sama mas-mba yang ada diruangan itu. Jadi kalo kamu kebetulan lagi main-main diruangan sebelah bisa-bisa ga tau kalo filmnya uda mulai.

- Kalo kamu ngarep bisa nonton lewat layar lebar sekian puluh ribu inci ama sound system segede gaban mending nonton di Blitz Megaplex atau Mega XXI aja. Karena layar bioskop dan sound system di sini ga jauh beda sama XXI biasa. 

- Nonton film jadi ga fokus (apa saya doang yang ga bisa fokus yah) karena mba-mas nya sering modar mandir seliweran nganterin makanan sampe nutupin subtitle. Dan nagih bill nya itu loh, ga bisa diawal sebelum masuk studio atau sesudah nonton aja apa yah, ganggu banget colak-colek nagih bill di tengah film.

- Buat yang seneng dempet-dempetan kalo nonton, tempat ini ga disarankan untuk didatengin karena antara satu kursi dengan kursi yang lain dipisahin sama meja tempat naro makanan. So, yang ngarep bisa dempet-dempetan sama pasangan mending nonton di studio sebelah.


Diliat dari jalan cerita film, menurut saya sih, standarnya film drama komedi. Bahkan saya sempet ngerasa bosen ditengah-tengah, ya karena saya ga fokus itu jadi kurang menikmati, hihihi. Tapi kalo diliat dari nyamannya seats, suasana studio yang beda, serta pelayanan yang memuaskan saya bisa kasih dua jempol.

Mungkin kapan-kapan kalo saya lagi pengen nyari suasana yang beda boleh lah kesana lagi. Saya sih ngarep kalo suatu hari nonton disana lagi, ada layanan refleksi gratis selama pemutaran film gitu yah. Jadi, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Hihihihi.

Mari kita amin-in. Amien. ^_^

Wednesday, September 8, 2010

Menanti Fajar


Dan dia masih terdiam disudut itu. Sudut yang sama ketika terakhir kali mereka bertemu. Menanti Fajar yang tak kunjung datang. Dengan t-shirt putih dan celana jins selutut, dia tetap terlihat cantik diusianya yang mulai matang. Matanya terus menatap ke laut lepas sambil memainkan ujung-ujung rambutnya yang menari disapa angin.

***

"Hai, apa kabar? Masih ingat janji kita?", pikirannya melayang pada rona lusuh beberapa hari lalu.

Tak sengaja dia bertemu lelaki itu disudut sebuah cafe di Jakarta. Semuanya masih sama. Hanya saja garis-garis disekitar mata dan hidung membuat wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Samar-samar dia menangkap bayangan lain disampingnya.

"Ah, sudah punya monyet ternyata", gumam dia dalam hati.

***

Setahun yang lalu, dia mengakhiri semuanya disudut itu. Tentu saja waktu itu keputusan bersama. Dan bersama-sama mereka menulis sebuah janji. Bukan hitam di atas putih. Tanpa materai 6000 yang dibubuhi tandatangan. Apalagi didampingi seorang pengacara. Hanya mereka. Berjanji di dalam hati.
Jika Tuhan mengijinkan. Setahun lagi, kita akan bertemu disini. Berdua. Menata kembali butiran pasir dalam gelas yang Dia sediakan. Mencari celah untuk menyatukan asa yang sempat terbelah.
Dan disanalah dia berada. Menunggu. Menagih janji yang sempat dilontarkan kemarin lalu.

***

"Mentari ya? Fajar menitipkan sesuatu untuk kamu", seorang gadis muda tinggi semampai datang menyodorkan secarik kertas pada dia.

Angin masih membelai lembut wajah Mentari. Ada rasa yang hinggap seketika. Kecewa. Pada Fajar yang mendahului terbitnya matahari. Pada cahaya Mentari yang lemah. Pada gelap malam yang menghapus sinar Mentari dibawah horizon pada pagi hari.

Maaf. Sebuah kata yang tertera pada secarik kertas pemberian gadis muda itu. Dia meremas dan merobeknya hingga kecil seperti butiran pasir.

"Kapan?",  dia menahan agar kristal bening dipelupuk matanya tidak jatuh terbawa air.
"Kemarin malam. Hujan. Dia kehilangan kendali. Mobilnya menabrak pembatas jalan", dengan sungkan gadis itu duduk disamping dia.
"Sebelum dia pergi malam itu, dia memintaku untuk menyerahkan secarik kertas pada gadis bernama Mentari", tanpa diminta gadis bernama Gea itu mulai bercerita.
"Apa isinya?", Gea mengalihkan pandangan pada mata Mentari.
"Hanya maaf", Mentari menyingkirkan helai rambut yang menutup mata bulatnya.

Dia berdiri. Meninggalkan jejak kaki dihamparan pasir. Yang tak berapa lama lalu hilang dibawa pasangnya air.

***
*pict taken from here

Inspite of all, saya hanya ingin minta maaf setulus hati. Terutama pada orang-orang yang kenal saya secara personal. Maaf terkadang jadi momok menakutkan buat saya. Takut itu hanya menjadi sekedar ucapan yang tidak diimbangi dengan perbuatan dan rasa percaya luntur karenanya.

Tapi saya percaya Tuhan beri saya teman, saudara, dan keluarga yang sangat baik. Meskipun jejak langkah kaki saya begitu membekas dihamparan pasir, pasangnya air akan memberi banyak sisi positif yang bisa saya bawa hingga akhir nanti.

Maaf lahir bathin, kawan ^_^