Sunday, July 31, 2016

Fate

"Kamu ingat?"
"???"
"Aku pernah kasih kamu sebuah gambar ilustrasi"
"Oh, itu"
"Kamu masih simpan?"
"Ada"
"Wanna doing one thing for me?"
"Anything"
"Dibelakang frame aku meletakkan sebuah surat"
"Surat?"
"Ambil dan buang suratnya. Jangan tanya mengapa."
"Ok, i'll do it"
"Thank you"

***
Genta mendapat hadiah ulang tahun dari Vio. Entah yang ke berapa. Ia lupa. Sebuah ilustrasi dirinya. Cukup lama ia ga pernah memajangnya di sudut kamar. Terlalu banyak ilusi. Hari ini, demi sebuah permintaan, ia membuka kotak usang itu.

Genta membuka frame foto perlahan. It's been more than ten years. Crazy. Perempuan mana yang bisa-bisanya menyimpan surat selama puluhan tahun dan ga ada yang tahu, cuma Vio yang sanggup.

Susah payah Genta membuka framenya. Lengket. Jelas. Sudah lebih dari sepuluh tahun. Mungkin jika Vio ga menyapanya lebih dulu, ia ga akan pernah tau bahwa ada pesan tersembunyi.

Masih ada. Suratnya memang tergeletak disana. Sedikit berubah warna. Amplopnya berwarna orange kemerahan. Ditengah amplop tertera namanya "To: Magenta". Genta ragu. Haruskah ia membuangnya? Atau melihat isinya lalu membuangnya?

Violetta. Someone from the past. Someone who he care about, couple years ago. They're friend now. Kalau saja Genta tidak bisa menyebutnya sebagai teman baik. Cukuplah Vio ada di linimasanya sekarang. Ia memutuskan untuk membuka surat dan membacanya perlahan.
Dear Magenta,
If you open this letter now, maybe we're not hold the same hand right now. We were in a different planet. You're there and i'm here. You doing that and i'm doing this. Actually, we're too cute to be separated isn't?
I still remember when first time i saw you. You're a kind man, i know it. And through this letter, i just wanna say that i do care about you. Whatever happen, you always have a place in my life. Be a good man, be a good friend, be a good husband, be a good dad.
That's all i can write to you. If fate bring us one day, maybe we can have a cup of hot chocolate, a good laugh, and warm conversations with pouring rain over the window.
See you when i see you.
Love,
Violetta
Genta menghela napas panjang. Ia memasukkan surat ke dalam amplop. Merobeknya menjadi dua bagian. Dan memasukkannya ke keranjang sampah di sudut kamar.
Can we have a cup of hot chocolate tonite? Its rainy day btw, i need a cup of hot chocolate to warm my heart. -Genta-
Message deleted...

Tuesday, July 5, 2016

Maaf di Ujung Waktu

"Yudha udah punya baby, Nav?", tanya Zya polos.
"Entah, aku udah lama banget ga kontak dia", terang Nava.
"Ooh, harusnya dia minta maaf sama kamu dulu tuh biar cepet punya baby", Zya tergelak mendengar pernyataannya sendiri.
"Kok gitu? Apa hubungannya?", tanya Nava.
"Yaaa.. Ga ngerti, gue asal aja kok", Zya berusaha menyudahi perbincangan mereka yang entah ke arah mana.
***
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Nava terus mengingat pernyataan Zya tadi.

Yudha, pria dari masa lalu yang pernah membuka pagi dan menutup malam Nava dengan senyuman. Seketika dengan alasan dijodohkan, memutuskan Nava tanpa meminta persetujuan. Tiga bulan kemudian, Nava mendengar kabar dari Zya bahwa Yudha akan menikah. Dunia Nava sudah runtuh sejak malam dimana Yudha mengakhiri hubungan mereka. Empat tahun bersama seolah tidak menyisakan apapun.

Nava pernah berdoa dalam hati, bahwa sampai kapanpun Yudha tidak akan pernah bahagia. Tidak ada kata maaf. Apa Yudha pikir Nava bukan manusia. Apa Yudha pikir Nava tidak punya hati. Ya, pasti Yudha pikir Nava wanita yang kuat. Cukup kuat untuk merapal doa. Demi langit dan bumi, Nava tidak rela siapapun berbahagia atas sakit yang di dera hatinya.

Apa mungkin karena doanya itu, Yudha belum juga memiliki anak setelah dua tahun pernikahan? Nava mengulang pertanyaan yang berseliweran dikepalanya sejak bertemu Zya di kedai kopi.

***
"De, aku pergi keluar sebentar ya", Yudha meminta ijin pada istrinya, Dea.
"Iya, hati-hati kamu, Mas. Sampaikan maafku untuk Nava", Dea tersenyum lebar mengiringi kepergian suaminya.
Yudha berhasil menghubungi Nava, akhirnya. Sore ini mereka membuat janji untuk bertemu disebuah restoran yang cukup tenang. Yudha memalingkan wajahnya ke arah pintu cukup sering. Setelah tatapan ke-26, sesosok gadis yang ditunggu akhirnya muncul. Nava masih cantik seperti dulu, lebih cantik bahkan. Yudha tidak sadar membatin dalam hati. Sosok yang ia rindukan sejak lama saat ini berdiri dihadapannya. Kikuk. Yudha spontan berdiri menyambut kedatangan Nava dan mempersilahkan ia duduk.
"Hai, kamu apa kabar Nav?", Yudha membuka pembicaraan.
"Baik. Langsung saja katakan apa maksud pertemuan kita hari ini", Nava tidak ingin membuang waktu.
Ia takut jantungnya berdetak lebih cepat. Ia takut Yudha mendengar detak jantungnya. Yudha, pria yang selalu ia rindukan kini duduk dihadapannya. Tuhan, ujian apa lagi yang ingin kamu beri.
"Aku ingin minta maaf", Yudha berusaha menatap mata Nava yang tertunduk.
"Untuk?", Nava pura-pura tidak mengerti.
"Dea, istriku, menitip maaf untukmu juga", Yudha tak kuasa menatap mata Nava yang kini mulai membulat marah.
"Untuk?", gemeretak gigi Nava cukup mengungkapkan apa yang ia rasa saat ini.
"Untuk hari-hari yang pernah aku dan Dea tinggalkan untukmu tanpa sepatah kata", Yudha memelankan suaranya.
Terlalu banyak hari yang Nava telah lewati. Hari ini akan menjadi salah satunya. Hari dimana ia bertemu Yudha. Untuk terakhir kali.
"Aku bukan malaikat", mata Nava mulai berani beradu pandang.
"Kamu boleh membenciku, Nav", jelas Yudha.
"Sudah ku lakukan sejak dulu, kamu ga perlu mempersilakan", Nava mulai ketus.
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu memaafkanku dan Dea?", tanya Yudha gelisah.
"Ga ada", tegas Nava.
"Pernikahan ini bukan mauku", Yudha mulai putus asa.
"Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, dahulu. Kamu tau itu. Katakan apa yang ga kamu tau tentangku?", mata Nava menatap Yudha berusaha mencari kejujuran.
"Aku ga tau jika melepasmu akan sesulit ini", ucap Yudha lirih.
Kalau begitu jangan lepaskan aku. Suara-suara dikepala Nava mulai muncul.
"Aku ga bisa menjelaskan kenapa aku ninggalin kamu untuk dijodohkan dengan pilihan Ibu waktu itu", Yudha berusaha memperjelas.
"Kalau begitu jangan", Nava menatap rintik hujan yang mulai turun dijendela.
"Aku selalu berdoa untukmu agar kamu mendapatkan pria baik yang bisa menjagamu, Nav", ucap Yudha tulus.
"Terima kasih untuk doamu. Aku pergi. Selamat tinggal!", Nava pergi tanpa menoleh.
Yudha, aku belum bisa memaafkanmu meskipun aku ingin. Hingga nanti saatnya tiba, tolong menjauh dari kehidupanku.

***

Ceritanya kangen nulis, tapi ga tau mau nulis apa. Berhubung besok Lebaran, saat yang pas buat maaf-maafan dan jadilah cerita ini.

Sebagai manusia, punya rasa marah dan benci itu wajar banget. Saya ga akan meminta untuk mengurangi atau menghindari. Karena proses yang paling penting dari memaafkan adalah menyadari bahwa kamu masih membenci. Atau mencintai. Trust me. Time will heal it.

Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri!

Monday, July 4, 2016

Ayo Makan!

Padamu yang selalu makan banyak nasi karena kesepian
Padamu yang banyak tidur karena bosan
Padamu yang banyak menangis karena sedih
Aku menulisnya
Kunyah perasaanmu saat terpojok seolah kamu mengunyah nasi
Lagipula hidup adalah...
Sesuatu yang perlu kamu cerna