Wednesday, September 8, 2010

Menanti Fajar


Dan dia masih terdiam disudut itu. Sudut yang sama ketika terakhir kali mereka bertemu. Menanti Fajar yang tak kunjung datang. Dengan t-shirt putih dan celana jins selutut, dia tetap terlihat cantik diusianya yang mulai matang. Matanya terus menatap ke laut lepas sambil memainkan ujung-ujung rambutnya yang menari disapa angin.

***

"Hai, apa kabar? Masih ingat janji kita?", pikirannya melayang pada rona lusuh beberapa hari lalu.

Tak sengaja dia bertemu lelaki itu disudut sebuah cafe di Jakarta. Semuanya masih sama. Hanya saja garis-garis disekitar mata dan hidung membuat wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Samar-samar dia menangkap bayangan lain disampingnya.

"Ah, sudah punya monyet ternyata", gumam dia dalam hati.

***

Setahun yang lalu, dia mengakhiri semuanya disudut itu. Tentu saja waktu itu keputusan bersama. Dan bersama-sama mereka menulis sebuah janji. Bukan hitam di atas putih. Tanpa materai 6000 yang dibubuhi tandatangan. Apalagi didampingi seorang pengacara. Hanya mereka. Berjanji di dalam hati.
Jika Tuhan mengijinkan. Setahun lagi, kita akan bertemu disini. Berdua. Menata kembali butiran pasir dalam gelas yang Dia sediakan. Mencari celah untuk menyatukan asa yang sempat terbelah.
Dan disanalah dia berada. Menunggu. Menagih janji yang sempat dilontarkan kemarin lalu.

***

"Mentari ya? Fajar menitipkan sesuatu untuk kamu", seorang gadis muda tinggi semampai datang menyodorkan secarik kertas pada dia.

Angin masih membelai lembut wajah Mentari. Ada rasa yang hinggap seketika. Kecewa. Pada Fajar yang mendahului terbitnya matahari. Pada cahaya Mentari yang lemah. Pada gelap malam yang menghapus sinar Mentari dibawah horizon pada pagi hari.

Maaf. Sebuah kata yang tertera pada secarik kertas pemberian gadis muda itu. Dia meremas dan merobeknya hingga kecil seperti butiran pasir.

"Kapan?",  dia menahan agar kristal bening dipelupuk matanya tidak jatuh terbawa air.
"Kemarin malam. Hujan. Dia kehilangan kendali. Mobilnya menabrak pembatas jalan", dengan sungkan gadis itu duduk disamping dia.
"Sebelum dia pergi malam itu, dia memintaku untuk menyerahkan secarik kertas pada gadis bernama Mentari", tanpa diminta gadis bernama Gea itu mulai bercerita.
"Apa isinya?", Gea mengalihkan pandangan pada mata Mentari.
"Hanya maaf", Mentari menyingkirkan helai rambut yang menutup mata bulatnya.

Dia berdiri. Meninggalkan jejak kaki dihamparan pasir. Yang tak berapa lama lalu hilang dibawa pasangnya air.

***
*pict taken from here

Inspite of all, saya hanya ingin minta maaf setulus hati. Terutama pada orang-orang yang kenal saya secara personal. Maaf terkadang jadi momok menakutkan buat saya. Takut itu hanya menjadi sekedar ucapan yang tidak diimbangi dengan perbuatan dan rasa percaya luntur karenanya.

Tapi saya percaya Tuhan beri saya teman, saudara, dan keluarga yang sangat baik. Meskipun jejak langkah kaki saya begitu membekas dihamparan pasir, pasangnya air akan memberi banyak sisi positif yang bisa saya bawa hingga akhir nanti.

Maaf lahir bathin, kawan ^_^

2 comments:

  1. hiks, sedih ceritanya... :'(

    selamat lebaran ya, maafkan lahir batin.. :)

    ReplyDelete
  2. selamat lebaran jugaaaa :) semoga kita kembali ke fitrah yaaa ^_^

    ReplyDelete