Aku mengamati melalui kaca jendela yang terbuka. Pedagang rokok dan pengamen jalanan masih bersenda gurau. Tak lama pengamen itu masuk. Menghibur para penumpang berwajah lelah. Tak jarang aku ikut bersenandung dalam hati. Lumayan. Penat dikepala sedikit hilang mendengar petikan gitar.
Pukul 9 lewat 30 menit. Aku mulai meninggalkan terminal. Kondektur mulai menghampiri kami satu persatu. Metromini mulai jalan melambat mendekati stasiun Jatinegara. Tempat yang biasanya tertib berubah jadi pasar pada malam hari. Membuat aku yang ingin cepat pulang sedikit tertahan. Pedagang sepatu. Baju. HP. Aksesoris. Kacamata. Lapak digelar tak peduli sepi pembeli.
Pukul 9 lewat 45 menit. Dibawah by pass Jatinegara. Makhluk makhluk malam mulai bermunculan. Cantik. Tapi pucat. Anggun. Tapi hitam. Putih. Tapi kekar. Tampan. Tapi tua. Senyum. Tapi kosong. Ramai. Tapi sepi. Satu yang aku mengerti. Kita sama sama sedang bertahan hidup.
Muncul pertanyaan dibenak ku. Mereka hidup untuk bertahan? Atau bertahan untuk hidup? Ah apa pula peduliku. Yang pasti aku masih ingin hidup esok hari.
Pukul 10 tepat. Aku masih mengamati melalui jendela. Kini jalanan mulai sepi. Kulihat orang disebelahku sudah terkantuk kantuk. Kepalanya hampir menyentuh bahuku. Cantik. Tapi kantung mata tak bisa menyembunyikan lelahnya. Aku melihat sesuatu menyembul dari balik tasnya. Apa itu?
Aku menengok kekiri. Jalanan masih lengang. Malam tetap anggun dimataku meski sepi. Menengok ke kanan. Gadis cantik itu masih tertidur. Kursi di belakang sudah kosong. Penumpang yang lain juga sudah turun. Hanya tinggal beberapa. Termasuk aku dan gadis cantik disampingku.
Pikiranku kembali mengawang. Banyak pertanyaan berkelebat dibenakku. Masih bisakah aku menumpang metromini ini besok malam? Atau ini malam terakirku? Aku tak sabar ingin pulang. Tapi pulang kemana? Pulang pada siapa?
Ah, sebentar lagi aku turun. Kukeluarkan secarik kertas dari tasku. Lalu mulai menulis ditengah guncangan bis yang semakin brutal. Selesai. Kuselipkan kertas itu didalam tasnya. Tanganku gemetar. Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus bertahan.
"Maaf mba, saya mau turun"
"Oh iya, sebentar"
Pukul 10 lewat 30 menit. Aku menjejakkan kaki ditanah. Masih basah. Bekas hujan semalam. Aku membersihkan nisan yang tertutup percikan tanah merah. Lirih aku berbisik.
"Maaf aku baru pulang, Ma."
Epilog:
Gadis cantik itu turun di halte terakhir. Kantuk masih melanda kepalanya. Dia segera menaiki angkot menuju rumahnya. Tubuhnya baru saja terduduk. Tangannya bergerak mengambil uang di dalam tas. Dan dia menemukan kertas itu.
maaf mba, saya pinjam uang mba. saya butuh uang untuk bertahan hidup. nanti saya kembalikan begitu saya punya pekerjaan yang layak. mohon maaf lahir batin ya mba."Sial! Gw kecopetan!"
Gadis itu merutuk dalam hati. Dia segera turun sebelum angkot itu jalan.
"Bang, ojeg!"
hahaha..ternyata cewek cantik itu dicopet.. kesian..
ReplyDeletetapi untung ada ojeg, jadi bisa bayar di rumah ;p