Monday, July 19, 2010

Dia, Takkan pernah terganti

Wangi kamboja menyeruak ke seluruh ruangan. Terdengar sayup-sayup lantunan surat Yassin. Suasana begitu ramai. Namun, entah mengapa aku merasa seorang diri. Mataku buram. Yang dapat terlihat hanya kain batik coklat itu. Kain yang menutupi seluruh tubuhnya.

Aku dilahirkan dari rahim seorang ibu. Mama, begitu biasa aku memanggilnya. 9 bulan 10 hari lamanya aku berada disana. Selama itu dia serasa membawa puluhan kilo kelapa diperutnya. Susah bernafas. Tidak enak tidur. Tapi dia tidak mengeluh.

Katanya, aku adalah anugerah terindah yang pernah dia miliki. Bahkan dia rela memakan semua makanan yang dia tidak suka, hanya untukku. Bahkan dia rela menahan rasa sakitnya, hanya untukku.

Ketika aku akan lahir ke dunia ini, dia menjerit. Bukan karena kesakitan. Tetapi ia menjerit bahagia. Bahagia karena akhirnya dia akan melihatku. Anaknya. Pertarungan antara hidup dan mati ada di depan mata. Malaikat izrail seakan berada disampingnya menunggu hingga aku dilahirkan. Bahkan aku masih mengingat ketika pertama kali aku minum air susu dari putingnya. Dahagaku hilang seketika. Dia hanya menatapku dan tersenyum bahagia. Katanya, jika aku besar nanti aku pasti akan menjadi anak yang pintar dan gagah.

Pagi-pagi, ketika seisi rumah masih terlelap dalam mimpinya, dia sudah berjalan menuju dapur. Menyiapkan sarapan pagi untukku dan ayahku, kemudian membasuh wajahnya untuk mengambil air wudhu. Begitu selalu setiap paginya. Aku tahu aku memang susah diatur. Setiap mau tidur, pasti aku tidak pernah mencuci kakiku. Dan tahukan kalian apa yang dia lakukan? Dia membasuh kakiku. Subhanallah. Bahkan hingga kini aku tak pernah membasuh kakinya seperti dia membasuh kakiku.

Jika aku melihat pisau, aku teringat padanya. Iyah. Sebuah pisau hampir mengenai kepalaku dulu. Memang itu salahku. Aku pulang terlambat dengan baju yang berlumuran lumpur. Aku marah. Aku kesal karena dia tidak mengerti keinginanku. Aku kabur dari rumah. Dan dia tidak mencariku.

Beranjak remaja, aku semakin tak mengerti apa yang diinginkannya. Aku bingung. Semua yang aku lakukan salah dimatanya. Apalagi ketika adik-adikku mulai mencuri perhatiannya. Semua yang aku lakukan semakin salah dimatanya. Aku lelah harus terus mengalah demi adik-adikku.

Aku teringat dia pernah memarahiku hanya karena sepotong roti. Waktu itu perutku kosong. Dari pagi aku belum makan. Kulihat sepotong roti diatas meja makan. Aku hanya memakan seperempat bagiannya. Aku tahu aku harus menyisakannya untuk adik-adikku. Tapi apa yang aku dapat? Dia marah besar. Aku benci padanya. Aku kabur dari rumah. Dan baru ku tahu ternyata dia kebingungan mencariku.

Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk jauh darinya. Menuntut ilmu di negeri orang. Dengan dalih mencoba untuk hidup mandiri sebenarnya aku hanya ingin melarikan diri dari celotehannya. Ketika dia mengantarkanku ke kota dimana aku akan tinggal selama beberapa tahun ke depan, kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Dia memberiku sebuah nasihat yang masih aku ingat hingga saat ini. Dia berkata agar aku menjaga diri karena dikota ini tidak ada dia, tidak ada ayah, tidak ada adik-adikku. Aku sendiri. Rasanya aku ingin menangis saat itu. Tapi aku sudah memilih. Dia mengantarkanku ke pintu gerbang itu. Dia hanya terdiam mematung menatap gerbang. Tak bergeming hingga aku hilang dari pandangannya. Sebegitu khawatirnya dia meninggalkan aku.

Bahkan sejak ayah meninggal beberapa tahun lalu, tak pernah kudengar sedikitpun keluhannya. Dia masih sama seperti dulu, cerewet dengan segala celotehannya dan perhatian dengan segala kecerewetannya. Kemarin samar kulihat gurat-gurat keriput diwajahnya. Usianya memang sudah tidak muda. Rambut-rambut putih mulai terlihat disela-sela rambut hitamnya yang tebal. Namun jilbabnya senantiasa menutupi perubahan dirambutnya. Tubuhnya juga tak sekuat dulu. Beberapa tahun lalu, dia masih sanggup berjalan sendirian tanpa ada yang menemani. Dan sekarang, bahkan kedua kakinya sudah tak sanggup menahan berat tubuhnya. Urat-urat mulai terlihat disekujur tubuhnya. Tangannya. Kakinya. Rona letih bahkan terpancar jelas diwajahnya. Nafasnya mulai terdengar berat. Tapi dia tetap tersenyum menyambut kedatanganku.

Air mataku tiba-tiba menetes dengan sendirinya. Aku tak ingin menangis. Namun rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak ini tak dapat lagi kubendung.

Mama..
Aku tahu Mama pasti bahagia berada disana. Bersama ayah. Bersama nenek. Bersama kakek. Baktiku padamu tidak akan pernah cukup rasanya walau ku bayar dengan nyawaku. Aku tahu, hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa Mama disampingku. Mungkin Mama bukan Mama yang baik, tapi Mama adalah Mama terbaik yang pernah aku miliki.

Kata maaf mungkin sudah terlambat sekarang. Namun doa ini tak akan pernah henti terucap dari batin dan jiwaku. Sampai berjumpa Ma..


Jakarta, Maret 2008
Untuk semua Mama
ILU
XXX

***
The story taken from here

No comments:

Post a Comment